Meruya Muktilaku IPNU-IPPNU

Muktilaku-Manusia diciptakan dengan Rahmat yang beragam, kemampuan dan kecenderungannya pun tidak sama, bila perlu harus ada penyamaan persepsi dan penyamaan misi-misi. Namun bukan berarti sama sekali nihil persamaan. Ada kondisi di mana manusia merasakan hal yang sama, walaupun untuk menjamin benar-benar sama itu juga sulit, yang jelas ada standar ungkapan bahwa setiap manusia merasakan titik itu; sedih, bahagia, senang, lapar, haus, dls.

Selasa, 28 oktober 2025 adalah kali kedua kegiatan teman-teman Muktilaku dengan Koranting IPNU-IPPNU Banjarejo Pakis. Di awal dulu porsi kebudayaan menjadi kajian utama. Bagaimana memaknai budaya bukan pada titik materialistic semata, anak-anak seusia SMP-SMA menjadi pijar pendar dalam kajian kebudayaan kala itu. Disaksikan Kepala Desa, Ketua Tanfidziah NU dan beberapa pegiat budaya di Desa Banjarejo.

Sedangkan kajian kedua ini adalah pembacaan atas sejara, historiografi dan timeline persinggungan islam dengan budaya nusantara, islam dengan ragam pola sikap dan pola pikir masyarakat nusantara – yang diyakini sudah mapan secara peradaban. Bukti artefak, bangunan candi, bangunan keraton, pusat pendidikan atau kadewaguruan, serta ragam tutur dan tradisi yang masih terjaga sampai saat ini.

Kajian Sejarah dan Budaya IPNU-IPPNU Koranting Banjarejo dengan Muktilaku

Islam dan Nusantara, adalah dua entitas yang berbeda. Subjeknya adalah manusia dengan produk olah pikir sebuah kebudayaan untuk menjaga – kembangkan peradaban. Mapan, adalah kata yang sama-sama disepakati walaupun persepsi di setiap kepala berbeda-beda. Islam dibaca sedemikian mapan juga sebagai nilai, apalagi sudah begitu akrab dengan nilai-nilai budaya di Nusantara.

Tentu landasan hipotesis tentang islam masuk di Nusantara dengan sangat baik diterima menjadi pijakan mendasar bahwa kemapanan peradaban di Nusantara terjalin atas dasar nilai. Bukan semata kepentingan atau kekuasaan politis, sehingga mempengaruhi gerak civil society. Kalaupun ada dasar pergerakannya, pasti berlandaskan kompetisi untuk saling menggulingkan. Nyatanya berbeda, islam masuk di Nusantara tidak dengan hunusan pedang tajam.

Pendekatan diplomatis, asismilatif dan akulturatif menjadi pendekatan yang maksimal. Pembauran nilai antara ritus asli Nusantara dengan islam yang datang kemudian menjadi padu. Moralitas tentu menjadi pilihan terbaik dalam menyambut itu semua. Sedangkan ruang ritus seperti Swadikep, tulajeg, tumungkul, tondem (tulungkup), dan tulumpuk, menjadi salah satu persamaan proses syariat dalam sholat, tentu tidak bisa dikatakan sama begitu saja, paling tidak memper.

dokumentasi kajian muktilaku (Pak Eko, Ki Reksa Aksara, Gogrogan Rengginang)

Kajian kedua ini bukan semata membuka pintu tentang dimensi waktu, tempat dan kondisi islam dan nusantara. Di samping itu juga sedikit demi sedikit mengurai benang kusut sosial pendidikan, khususnya bagi kalangan remaja.

Sebagai peserta yang datang duduk nimbrung dalam kegiatan itu, saya merasakan adanya spirit besar bahwa tidak semua problem pendidikan yang seliweran di social media itu tidak dapat diatasi. Justru pendidikan kultur dan non formal semacam ini dapat menjadi pijakan awal untuk menjawab problem-problem yang sedang terjadi.

Bangunan dengan pondasi kebiasaan yang senantiasa ditularkan oleh para sepuh di lingkungan mereka justru menjadi ruang gerak kreatif dan kesadaran yang berkelanjutan; Mbah Eko, Pak RW Njontor, Pak yai Darman, Gus Iru, Mas Hendrik Reksa Aksar dan ustad Slamet turut melengkapi tambal sulam bata dan batu pondasi kesadaran itu. Nuwun sewu agaknya pola ini pelru diadopsi di lingkungan terdekat Banjarejo dan secara umum di Malang.

Pertanyaannya adalah untuk siapa pondasi itu? tentu untuk kehidupan yang terus berlangsung, Indonesia, pilar-pilar sosialnya, NUnya, pun ormas-ormas keagamaan lainnya, terlebih untuk kemandirian, kesadaran dan sensitifitas para remaja dan pemuda penerus bangsa.

Saya kira membangun kebiasaan seperti ini juga menjadi pola untuk menyamakan persepsi, tentang apapun, tentang ketertarikan. Abu Marlo dalam Kumpulan tulisannya bersama mas Sabrang dengan tajuk “Sebelum Cahaya” (2025) menegaskan bahwa ketertarikan yang terbangung merupakan petunjuk  dari diri untuk mengumpulkan modal agar bisa memahami diri pada kondisi berikutnya.

Artinya yang disiapkan dalam segala proses pergerakan apapun saat ini, bukan untuk saat ini juga, tetapi unuk proses berikutnya. Jadi jangan berharap menanam hari ini lantas anda panen hari ini juga, santai dulu, bukannya bermesraan dengan proses itu mengasikan, kayak ada manis-manisnya gitulah.

Proses kesadaran menanam itulah yang menjadi high light dari perjumpaan ini. Bahwa tidak ada yang instan, apapun itu. Kita lahir saja tidak ujug-ujug begitu saja.[]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peta Historiografi Islam Nusantara

Lahir, Tumbuh dan Menanam Kembali